Romi Hardhika – Dandapala Contributor
Senin, 01 September 2025 | Mediabahri.com
Jakarta – Doktrin exclusionary rule atau aturan pengecualian merupakan salah satu tonggak penting dalam hukum acara pidana modern. Doktrin ini menegaskan bahwa bukti yang diperoleh secara melawan hukum tidak dapat dipergunakan di pengadilan. Prinsip tersebut lahir untuk melindungi hak konstitusional warga dari tindakan sewenang-wenang aparat, sekaligus memastikan proses hukum tetap berlandaskan keadilan.
Di Amerika Serikat, dasar konstitusional exclusionary rule bersumber dari Amandemen Keempat (1792), yang menegaskan perlindungan setiap orang dari penggeledahan maupun penyitaan tanpa alasan yang sah. Sejarah penerapan pertama kali dapat ditelusuri dalam perkara Weeks v. United States (1914), yang kemudian menjadi preseden monumental.
Kasus Fremont Weeks
Pada 21 Desember 1911, Fremont Weeks ditangkap di Union Station, Kansas, Missouri, dengan tuduhan mengangkut tiket lotre. Di saat bersamaan, aparat melakukan penggeledahan rumahnya tanpa surat perintah. Berbekal informasi dari tetangga mengenai kunci cadangan, petugas memasuki rumah Weeks dan menyita surat-surat serta barang-barang pribadi yang kemudian dijadikan bukti persidangan.
Weeks mengajukan keberatan melalui motion to suppress, dengan alasan bukti diperoleh secara tidak sah dan melanggar Amandemen Keempat serta Amandemen Kelima. Meski sebagian barang dikembalikan, pengadilan tetap menahan sejumlah bukti kunci seperti tiket lotre dan dokumen terkait. Weeks divonis bersalah, dijatuhi hukuman penjara, serta denda.
Mahkamah Agung Membalikkan Putusan
Perjuangan Weeks berlanjut hingga ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Dalam putusan bulat sembilan hakim agung, Mahkamah menyatakan penggeledahan tanpa surat perintah merupakan pelanggaran konstitusi. Hakim mengutip adagium klasik, “every man’s house is his castle” (setiap rumah adalah istana), sehingga tidak boleh diganggu gugat tanpa dasar hukum yang sah.
Mahkamah Agung menegaskan bahwa meskipun tujuan penegakan hukum adalah menghukum pelaku kejahatan, hal itu tidak boleh mengorbankan Konstitusi. Jika bukti yang diperoleh secara ilegal tetap dipakai, maka sama saja dengan menghapus Amandemen Keempat dari Konstitusi. Putusan pengadilan sebelumnya pun dibatalkan.
Lahirnya Doktrin Exclusionary Rule
Putusan Weeks v. United States menjadi tonggak kelahiran doktrin exclusionary rule. Prinsip ini kemudian diperkuat dalam sejumlah putusan lain, seperti Silverthorne Lumber Co. v. United States (1920) dan Mapp v. Ohio (1961). Doktrin tersebut menegaskan bahwa keabsahan bukti merupakan bagian dari due process of law, sehingga hukum materiel dan hukum formil harus berjalan beriringan.
Tanpa mekanisme pengawasan terhadap cara perolehan bukti, proses peradilan justru berpotensi kehilangan legitimasinya. Penegakan hukum yang melanggar hukum tidak hanya mencederai keadilan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan itu sendiri.
Relevansi di Indonesia
Doktrin serupa kini mulai diadopsi dalam sistem hukum Indonesia. Pasal 222 ayat (2) RUU KUHAP (ICJR) menyebutkan bahwa setiap alat bukti harus diperoleh secara “tidak melawan hukum”. Dengan demikian, alat bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat digunakan di persidangan, serta tidak memiliki kekuatan pembuktian.
Klausul ini menunjukkan kesadaran hukum nasional untuk menegakkan keadilan berdasarkan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan proses hukum yang adil.
Penutup
Putusan Weeks v. United States adalah pengingat abadi bahwa hukum tidak boleh ditegakkan dengan cara yang melanggar hukum. Setiap upaya memerangi kejahatan harus tetap berlandaskan konstitusi. Sebab, tanpa penghormatan terhadap prosedur yang sah, hukum kehilangan makna dan hanya akan menjadi alat kekuasaan.
Redaksi: Mediabahri.com