Yogyakarta, 23 Agustus 2025 – InvestigasiGWI.com | Di tengah stagnasi ekonomi desa, pemerintah meluncurkan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) sebagai “senjata baru” untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan. Program ini diresmikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada Hari Koperasi ke-78, Juli lalu, dengan target membentuk 80.000 koperasi digital di seluruh nusantara.
Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyebut KDMP bukan sekadar rebranding, melainkan langkah strategis mengembalikan koperasi ke khitahnya. Namun, sejarah panjang kegagalan koperasi di Indonesia memunculkan pertanyaan besar: apakah KDMP akan benar-benar menjadi solusi, atau hanya proyek politik yang mengulang pola lama?
Kasus Uji: KDMP Tamanmartani
Desa Wisata Tamanmartani, Sleman, DIY, menjadi etalase awal KDMP. Dalam dua bulan, koperasi ini mengklaim sudah memiliki 895 anggota dan mengelola empat unit usaha: klinik-apotek, simpan pinjam, sembako, serta sarana produksi pertanian.
Ketua KDMP, Mawardi, menyebut koperasi berfungsi sebagai agregator produk UMKM, sekaligus membuka akses pembiayaan lewat kerja sama dengan BNI. Skema ini memungkinkan pelaku wisata mengakses KUR untuk modal usaha.
Namun, InvestigasiGWI.com mencatat potensi masalah: ketergantungan pada pinjaman perbankan bisa menjebak UMKM ke dalam beban utang baru. Apalagi, belum jelas bagaimana sistem transparansi digital KDMP akan diaudit agar benar-benar bebas dari manipulasi.
Manfaat Nyata, Risiko Mengintai
Warga memang mulai merasakan manfaat. Harga sembako lebih stabil, produk UMKM punya pasar, dan wisata edukasi menarik pengunjung. Prima Sintalia, pelaku UMKM, mengaku bisa membeli telur lebih murah lewat koperasi. Tetapi ia juga mengeluhkan soal pasokan yang belum konsisten.
Sementara itu, Pandu Cahyo Gustoro dari Bumdes menyoroti pentingnya promosi berkelanjutan. “Wisatawan asing sudah mulai datang, tapi tanpa strategi, tren ini bisa turun drastis,” tegasnya.
Catatan Investigatif
KDMP tampak manis di awal. Namun pengalaman membuktikan, banyak koperasi yang gagal karena:
- Lemahnya transparansi keuangan
- Dominasi elit politik lokal
- Distribusi keuntungan yang tidak adil
- Pola kredit yang akhirnya membeb