Kerusakan Ekosistem Hutan di Hulu Jadi Biang Banjir Bandang dan Longsor: Zulfahri Tanjung Ingatkan “Dosa Ekologis” yang Dibayar dengan Nyawa

Redaksi Media Bahri
0

Mediabahri.com | Medan — Muhammad Zulfahri Tanjung, Pengurus DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumatera Utara, menegaskan bahwa kerusakan ekosistem hutan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi salah satu faktor paling dominan yang memicu banjir bandang, tanah longsor, serta hantaman material lumpur disertai gelondongan kayu di Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, Senin (1/12/2025).

Menurutnya, bencana ini bukan hanya sekadar dampak cuaca ekstrem, namun merupakan “akumulasi panjang dari pengabaian terhadap ekosistem hulu yang terus dirusak tanpa kendali”.


Banjir Bandang dan Longsor Picu Ratusan Korban

Bencana hidrometeorologi yang menghantam Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh pada akhir November 2025 meninggalkan kerusakan besar dan menelan lebih dari 400 korban jiwa. Ratusan desa terendam, jembatan dan jalan nasional terputus, dan ribuan warga kehilangan tempat tinggal.
BNPB mencatat 2.726 kejadian bencana hidrometeorologi terjadi sejak Januari hingga November 2025 — angka yang menunjukkan tren kenaikan signifikan.

Tiga gubernur provinsi terdampak serentak menetapkan status tanggap darurat 14 hari.

Zulfahri mengatakan cuaca ekstrem memang terjadi, dengan curah hujan mencapai 300 mm per hari, dipicu oleh Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka. Namun ia menegaskan, “Cuaca ekstrem hanyalah pencetus. Kerusakan parah terjadi karena benteng alam di kawasan hulu sudah tidak lagi berfungsi.”


Hutan Hulu Rusak: Spons Raksasa yang Kini Tidak Lagi Menyerap Air

Zulfahri menguraikan bahwa hutan di hulu seharusnya berfungsi seperti spons raksasa yang menahan, menyerap, dan mengatur aliran air.
Ia menyebut riset yang menunjukkan:

  • Intersepsi tajuk: hutan mampu menahan 15–35% curah hujan di kanopi.
  • Infiltrasi tanah alami: mampu meresapkan hingga 55% air ke dalam tanah.
  • Evapotranspirasi: mengembalikan 25–40% air ke atmosfer.
  • Surface runoff: hanya 10–20% air yang mengalir ke sungai ketika ekosistem hulu masih utuh.

Namun ketika hutan rusak, jaringan akar hilang, tanah padat dan tidak lagi berpori, sehingga hampir seluruh air hujan berubah menjadi limpasan yang langsung menerjang wilayah hilir.

“Fungsi hidrologis hutan hilang total ketika perambahan, pembukaan kebun, dan penebangan liar dibiarkan merajalela,” tegas Zulfahri.


Longsor, Bendungan Alami, dan Jebolnya Sungai Jadi Rantai Kehancuran

Kerusakan ekosistem hulu membuat lereng-lereng curam di Bukit Barisan semakin rentan. Tanah yang tidak terikat akar menimbulkan longsor besar yang menimbun badan sungai dan menciptakan bendungan alami. Ketika debit air meningkat, bendungan itu jebol dan menghasilkan banjir bandang dahsyat.

Material lumpur, pasir, dan batang kayu yang terseret dari hulu kemudian memperparah pendangkalan sungai, dan memicu luapan yang lebih besar.

“Hilangnya hutan berarti hilangnya sabuk pengaman alami kawasan hilir,” ujar Zulfahri.


Deforestasi Masif di Aceh, Sumut, dan Sumbar Perparah Risiko

Zulfahri menyayangkan laju deforestasi yang terus meningkat di beberapa provinsi:

Aceh

  • Tahun 2020 masih memiliki 59% hutan alam (±3,37 juta ha).
  • Namun kehilangan >700.000 ha hutan dalam periode 1990–2020.

Sumatera Utara

  • Tutupan hutan tinggal 29% (±2,1 juta ha).
  • Hutan tersisa terfragmentasi, bahkan Ekosistem Batang Toru — benteng terakhir Sumut — juga terancam akibat:
    • penebangan liar
    • tambang emas
    • pembukaan perkebunan
    • konsesi perusahaan

Sumatera Barat

  • Memiliki sekitar 54% kawasan hutan.
  • Namun deforestasi mencapai 740 ribu ha tutupan pohon (2001–2024)
  • Tahun 2024 saja kehilangan 32 ribu ha.

“Ketika hutan di lereng Bukit Barisan terus berkurang, kita tinggal menunggu waktu sebelum bencana besar terjadi — dan kini itu sudah terjadi,” ungkapnya.


“Dosa Ekologis yang Kita Bayar dengan Nyawa”

Zulfahri menyebut tragedi banjir bandang November 2025 sebagai gambaran nyata konsekuensi dari kelalaian panjang terhadap lingkungan.

“Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah dosa ekologis di hulu DAS yang telah lama dibiarkan. Cuaca ekstrem hanyalah pemicu — kerusakan lingkungan adalah penentu daya rusaknya,” tegasnya.

Ia meminta pemerintah memperkuat penataan ruang, menindak tegas pembalak liar dan pelaku perambahan, serta mengembalikan fungsi hutan lindung di kawasan seperti Batang Toru sebagai area tangkapan air utama.

“Selama deforestasi, illegal logging, dan alih fungsi lahan tidak dikendalikan, bencana hidrometeorologi akan makin sering dan makin mematikan.”


Redaksi: Mhd. Zulfahri Tanjung
Editor: Zulkarnain Idrus



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Lanjutkan, Go it!) #days=(20)

Terima Kasi sudah berkunjung ke Media Bahri, Info Lewat WhatSapp Hubungi Sekarang
Ok, Go it!