Mediabahri.com | Binjai - Dugaan penyimpangan Dana Insentif Fiskal (DIF) Kota Binjai kembali menjadi sorotan panas setelah perkembangan penyidikan dinilai “jalan di tempat”. Publik menilai Pemko Binjai terlalu pasif dan cenderung bungkam, sementara Aparat Penegak Hukum (APH) dinilai tidak menunjukkan langkah signifikan dalam mengungkap aliran dana puluhan miliar tersebut.
Hingga kini, status kasus memang telah dinaikkan ke tingkat penyidikan, namun belum ada satu pun tersangka yang diumumkan. Di tengah besarnya dugaan penyimpangan, sikap lamban APH memicu tanda tanya besar di kalangan masyarakat.
Pemko Binjai Dinilai Tidak Transparan: Silpa Rp 1,2 Miliar Jadi Sorotan
Salah satu titik paling mencolok adalah Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) sebesar Rp 1,2 miliar yang disebut-sebut berada dalam RKUD, namun tidak tercatat dalam audit yang beredar.
Transparansi Pemko dipertanyakan karena hingga kini tidak ada penjelasan rinci mengenai:
- rincian penggunaan DIF Rp 20,8 miliar,
- realisasi fisik di lapangan,
- aliran dana yang tidak sinkron antara laporan BPKAD dan temuan penyidik.
Kondisi ini menambah kuat dugaan adanya pengelolaan anggaran yang tidak sesuai ketentuan.
APH Dinilai “Mandul” Menetapkan Tersangka
Walau pejabat OPD dan pihak terkait telah diperiksa, belum ada penetapan kerugian negara, bahkan belum ada progres konkret yang diumumkan ke publik.
Sejumlah aktivis menilai APH seperti “menahan diri” dalam mengumumkan perkembangan kasus.
Publik pun semakin terang-terangan mempertanyakan keberanian APH dalam menelusuri dugaan penyimpangan DIF yang nilai dan alurnya sarat kejanggalan.
Kasi Intel Kejari Binjai Noprianto Sihombing, S.H., M.H.. ketika dikonfirmasi tidak menjawab.(24/11/25).
Statement Praktisi Hukum Ahmad Zulfikar SH., MH:
“Jika Ada Penyimpangan, Pelakunya Harus Dihukum Maksimal”**
Praktisi hukum Sumatera Utara Ahmad Zulfikar SH., MH memberikan tanggapan keras terkait lambannya perkembangan kasus.
“Kasus Dana Fiskal Binjai tidak boleh dibiarkan berlarut. APH wajib transparan dan tidak boleh ragu menindak siapa pun yang terlibat. Bila terbukti ada penyimpangan, pelakunya harus dikenakan sanksi maksimal sesuai UU Tipikor — penjara hingga 20 tahun, denda miliaran rupiah, hingga penyitaan aset. Ini dana publik, bukan dana pribadi.”
Menurutnya, lambannya pengungkapan justru berbahaya karena bisa memunculkan dugaan adanya intervensi atau keberpihakan tertentu.
Sanksi Hukum yang Mengancam Jika Terbukti Ada Penyalahgunaan DIF
Berdasarkan UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Tipikor, pihak yang terbukti menyelewengkan anggaran publik dapat dijerat:
- Penjara 4–20 tahun,
- Denda hingga Rp 1 miliar,
- Pengembalian kerugian negara,
- Penyitaan aset hasil tindak pidana,
- serta pemberatan jika dilakukan oleh penyelenggara negara.
Hukuman ini menjadi pengingat bahwa penyimpangan dana publik bukan pelanggaran ringan.
Desakan Publik: “Jangan Ada yang Dilindungi”
Gelombang desakan dari elemen masyarakat, mahasiswa, dan pemerhati anggaran semakin kuat. Mereka meminta APH:
- membuka secara gamblang aliran dana DIF,
- mengumumkan pihak yang bertanggung jawab,
- dan tidak memberi ruang bagi oknum yang mencoba mengaburkan fakta.
Publik juga menuntut Pemko Binjai untuk membuka seluruh dokumen penggunaan DIF secara transparan, termasuk bukti realisasi program dan kronologi munculnya Silpa.
Mediabahri.com Catat:
Dugaan Penyimpangan Semakin Kuat, Sikap Pemerintah dan APH Kian Dipertanyakan**
Minimnya transparansi dari Pemko dan lambannya langkah APH hanya memperkuat dugaan bahwa kasus ini tidak ditangani dengan serius.
Padahal DIF adalah anggaran negara yang diberikan berdasarkan kinerja daerah dan wajib dikelola secara akuntabel.
Mediabahri.com akan terus mengikuti kasus ini dan menyoroti setiap perkembangan penyidik maupun respons Pemko Binjai.
Reporter: Mediabahri.com
Editor: Zulkarnain Idrus