Jambi – Mediabahri.com | Drama “playing victim” yang dimainkan seorang narapidana bernama Samsul Bahri di Lapas Klas IIB Kuala Tungkal, Provinsi Jambi, menyeret nama sejumlah pejabat lapas hingga memicu polemik besar. Awalnya, Samsul memberikan informasi soal dugaan peredaran narkoba di dalam lapas, termasuk temuan paket sabu-sabu di Blok F.

Melalui sambungan telepon dengan awak media, Samsul menyebut adanya transaksi narkoba dan pungutan uang bulanan dari napi kepada oknum petugas. Ia bahkan meminta agar kasus penganiayaan terhadap sesama napi bernama Apri ikut diviralkan. Informasi itu sempat dikuatkan pengakuan napi lain, Hendri Pranap, yang menyebut ada lebih dari satu kantong sabu ditemukan.

Namun, setelah pemberitaan terkait penemuan tujuh kantong sabu dan kasus penganiayaan Apri viral hingga ke Ditjenpas Kemenkumham, Samsul justru berubah haluan. Ia menyesali namanya ikut terseret, lalu meminta agar pemberitaan tersebut dihapus. Karena permintaannya tidak dikabulkan, Samsul berbalik melakukan teror dan intimidasi terhadap awak media serta redaksi.

Dengan menggunakan modus mengatasnamakan anggota TNI, GRIB Jaya, dan bahkan aparat kepolisian, Samsul melancarkan ancaman pembunuhan karakter. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar soal lemahnya pengawasan lapas terhadap penggunaan handphone di balik jeruji.

Kepala Satgas Fast Respon Indonesia Counter Opinion Polri Provinsi Jambi, Fahmi, menegaskan Ditjenpas Kemenkumham harus bersikap tegas. “Narapidana tidak boleh dibiarkan menggunakan handphone untuk transaksi narkoba dan penipuan. Kalau Kalapas tidak sanggup, segera pindahkan ke Lapas Maximum Security Sarolangun,” tegasnya.

Fahmi juga mempertanyakan sikap Kalapas Kuala Tungkal yang dinilai “takut” terhadap Samsul. “Mengapa Samsul dibiarkan menggunakan tiga nomor berbeda untuk menebar teror? Apakah benar dia berambisi menguasai peredaran narkoba di balik penjara?” ujarnya menutup pernyataan. (FH)

Redaksi: Mediabahri.com