Jakarta – Mediabahri.com
Kasus sengketa pertanahan kembali mencuat dan menyita perhatian publik. Kali ini terjadi di kawasan Jalan Warung Silah I, RT 002/RW 004, Kelurahan Cipedak, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kuasa hukum Armina Scherazade, pengacara Novi Andra, S.H.I., M.I.K, mengungkap adanya dugaan permainan mafia tanah terkait kepemilikan lahan seluas 523 m² yang dimiliki kliennya secara sah berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 04882/Cipedak.
Persoalan muncul setelah seorang bernama Kaharuddin Latief, yang tidak dikenal dan bahkan tidak pernah hadir dalam proses persidangan, tiba-tiba mengklaim memiliki lahan di kawasan tersebut dengan luas sekitar 4.443 m². Klaim tersebut dinilai tidak berdasar dan memunculkan kecurigaan kuat bahwa yang bersangkutan bisa jadi adalah sosok fiktif.
"Selama proses hukum berjalan, Kaharuddin Latief tidak pernah hadir dalam persidangan. Anehnya, majelis hakim tetap melanjutkan perkara tanpa kehadiran tergugat utama dan menganggap hal itu bukan masalah. Padahal ini bertentangan dengan SEMA No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai," ujar Novi Andra.
Tumpang Tindih Lokasi dan Kejanggalan Putusan
Dalam perkara Nomor 1006/Pdt.G/2019/PN.JakSel yang diajukan banding oleh Armina Scherazade, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 195/PDT/2023/PT.DKI menunjukkan adanya kejanggalan fatal. Dalam dokumen putusan, terungkap bahwa majelis hakim memberikan putusan atas objek gugatan rekonvensi dari Kaharuddin Latief yang melebihi permintaan aslinya, sebuah tindakan yang dianggap keliru secara yuridis.
Putusan tersebut menurut kuasa hukum, mencederai prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta bertentangan dengan asas peradilan yang objektif sebagaimana tercermin dalam adagium hukum:
Judex debet judicare secundum allegata et probata (hakim harus mengadili berdasarkan fakta dan bukti) serta Judex herbere debet duos sales... (hakim harus punya kebijaksanaan dan hati nurani).
SHM Sah atas Nama Armina: Beda Persil, Beda Letak
Kuasa hukum menegaskan bahwa tanah milik Armina Scherazade telah terverifikasi sah berdasarkan SHM No.04882/Cipedak/2016, yang didukung Girik C No.1131, Persil No.172 Blok S.II, serta Surat Ukur No.00555/Cipedak/2015 dan NIB No.09020906.06806. Sementara SHM No.562/Ciganjur/1983 yang diklaim oleh Kaharuddin Latief berdasar pada Persil 191 Girik C.7, berada di lokasi berbeda total — yakni wilayah Rawa Badak, bukan Batu Belah.
"Logikanya, bagaimana mungkin terjadi tumpang tindih sertifikat jika Girik dan Persil berbeda? Ini jelas rekayasa. Bahkan masyarakat sekitar, RT, RW dan Kelurahan semua menyatakan bahwa tanah tersebut memang milik sah Armina," tegas Novi.
Tergugat Diduga Fiktif
Hal lain yang memprihatinkan adalah ketidakhadiran Kaharuddin Latief dari awal hingga akhir persidangan. Padahal, sebagai tergugat utama, keterangannya sangat penting untuk mengklarifikasi batas-batas klaim tanahnya. Ketidakhadirannya memperkuat dugaan bahwa identitasnya tidak jelas bahkan mungkin fiktif, dan kasus ini sarat dengan aroma permainan mafia tanah.
Dalam perkara ini, turut digugat adalah:
- Kementerian Agraria dan Tata Ruang / BPN Kota Jakarta Selatan sebagai Turut Tergugat I, dan
- Maryanti, pemilik sebelumnya yang menjual tanah kepada Armina, sebagai Turut Tergugat II.
Masyarakat Harus Waspada
Novi Andra berharap, Mahkamah Agung dapat lebih objektif dalam menilai bukti-bukti dan kejanggalan dalam perkara ini. Sebab, jika tidak, maka potensi penyalahgunaan hukum dan pelemahan hak milik yang sah akan terus berulang dan membahayakan kepastian hukum di Indonesia.
“Kami mohon atensi penuh aparat penegak hukum serta instansi pertanahan untuk menyelidiki dugaan permainan mafia tanah dalam kasus ini. Ini bukan hanya soal hak milik pribadi, tapi juga menyangkut marwah hukum negara,” pungkasnya.
Narasumber: Dulfarizal Chaniago
Reporter: Tim Redaksi Mediabahri.com