
MEDIA BAHARI .COM Halmahera Selatan – Di balik jargon transparansi dan akuntabilitas, realitas pengelolaan anggaran media di Halmahera Selatan justru menunjukkan wajah kelam birokrasi yang korup, elitis, dan diskriminatif.
Data yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan, Dinas Kominfo Halmahera Selatan mengelola anggaran kerja sama media sebesar Rp3,4 miliar selama dua tahun (2024–2025). Dana ini berasal dari APBD dan seharusnya didistribusikan secara adil kepada media massa yang membantu menyebarkan informasi program dan kebijakan pemerintah. Namun kenyataannya, sistem kerja sama ini tampak jauh dari prinsip keadilan.
Pada tahun 2024, dana Rp1,7 miliar dibagi untuk 33 media online dan 1 media cetak. Tetapi ironisnya, satu media cetak justru menguasai Rp500 juta sendiri—lebih dari 29% dari total anggaran. Sisanya dibagikan ke puluhan media online dalam jumlah kecil, dengan nominal yang jelas timpang.
Keanehan semakin mencolok di tahun 2025. Meski nilai anggarannya tetap, jumlah media yang mendapat kerja sama menyusut drastis jadi hanya 9 media online. Tak ada penjelasan resmi soal pemilihan ini. Tak ada transparansi mekanisme. Tak ada daftar evaluasi. Tak ada indikator profesionalisme. Semua berjalan dalam ruang gelap yang hanya diketahui oleh segelintir orang.
Pertanyaannya: apakah ini program kemitraan pers, atau praktik rente kekuasaan?
Model pembagian anggaran seperti ini hanya melanggengkan ketimpangan dalam ekosistem media lokal. Media kecil yang selama ini menjadi pengawal suara rakyat dipinggirkan. Media yang tak punya kedekatan dengan elite tak dilirik. Proses ini tak ubahnya transaksi kekuasaan dengan syarat: loyalitas, bukan kualitas.
Kondisi ini sangat berbahaya. Sebab ketika akses anggaran ditentukan oleh kedekatan, maka ruang redaksi berubah menjadi ruang negosiasi. Jurnalisme kehilangan independensinya. Kritik dibungkam dengan kontrak. Fakta ditukar dengan pencitraan.
Alih-alih memperkuat demokrasi lokal, sistem ini justru memperkuat feodalisme informasi: hanya yang tunduk yang diberi makan.
Sejumlah jurnalis independen di Halsel bersama organisasi profesi kini mendorong dilakukannya audit terbuka dan investigasi menyeluruh terhadap praktik pengelolaan dana media ini. Lembaga pengawas, baik internal maupun eksternal, diminta tidak tutup mata.
Sementara itu, pihak Kominfo dan Pemkab Halsel belum memberikan keterangan apa pun. Kepala Dinas Kominfo, Sutego, S.T., dikabarkan tidak berada di tempat saat hendak dikonfirmasi. Diam ini hanya mempertebal kecurigaan bahwa memang ada sesuatu yang sedang disembunyikan.
Pers adalah mitra kritis pemerintah, bukan alat pemoles citra. Dan uang publik bukan instrumen untuk membeli pemberitaan.
Jika dana sebesar ini diselewengkan, maka yang dikhianati bukan hanya media, tapi juga publik yang berhak mendapat informasi yang jujur dan merata.
(Tim Redaksi)