Jakarta – Mediabahri.com //
Tanggal 1 Agustus 1882 diperingati sebagai Hari Jadi Peradilan Agama di Indonesia, menandai pengakuan resmi pertama kali terhadap eksistensi lembaga peradilan berbasis hukum Islam oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penetapan ini bukan tanpa alasan—1 Agustus 1882 adalah tanggal diterbitkannya Staatsblad 1882 Nomor 152 dan 153, yang menjadi dasar pembentukan Priesterraad atau Raad Agama di wilayah Jawa dan Madura.
Akar Sejarah Panjang dan Kontribusi Hukum Islam
Sebelum era kolonial, peradilan agama telah hidup dan berkembang dalam sistem kerajaan Islam di Nusantara seperti Mataram, Banten, Cirebon, Banjar, dan Aceh Darussalam. Lembaga peradilan ini dikelola oleh para qadhi yang menangani perkara perdata seperti pernikahan, perceraian, waris, dan wakaf. Di Aceh, misalnya, peradilan Islam mencapai puncaknya dengan hadirnya Qadhi Malikul Adil, yang berfungsi seperti hakim agung pada masa itu.
Pada masa penjajahan Jepang, eksistensi peradilan agama kembali diperkuat di Aceh melalui regulasi Atjeh Syu Rei No. 12 Tahun 1944, yang menetapkan keberadaan Syukyo Hooin (Mahkamah Agama) secara formal.
1 Agustus 1882: Titik Awal Pengakuan Formal
Melalui penerbitan Staatsblad 1882 No. 152 dan 153, kolonial Belanda menetapkan pembentukan Priesterraad, lembaga peradilan agama untuk perkara pernikahan, talak, rujuk, dan warisan. Meskipun kewenangan lembaga ini dibatasi dan putusannya harus dieksekusi oleh pengadilan umum (landraad), pengakuan formal ini menjadi fondasi historis penting bagi perkembangan peradilan agama selanjutnya.
“Tanggal 1 Agustus 1882 bukan hanya simbol administratif, melainkan simbol perjuangan dan eksistensi hukum Islam di negeri ini,” demikian disampaikan dalam siaran resmi Humas Mahkamah Agung RI yang diterima oleh Mediabahri.com.
Perjuangan Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, peradilan agama berada di bawah naungan Kementerian Agama. Ini menimbulkan dualisme sistem peradilan, karena peradilan umum berada di bawah Mahkamah Agung. Ketidakseimbangan ini memicu perjuangan panjang untuk menjadikan peradilan agama sebagai bagian dari sistem kekuasaan kehakiman yang independen.
Puncak dari perjuangan tersebut terjadi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang secara tegas menyatakan:
- Peradilan Agama adalah bagian dari kekuasaan kehakiman.
- Putusan peradilan agama memiliki kekuatan eksekutorial.
- Struktur peradilan agama terdiri dari tiga tingkat: Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung.
Era Reformasi Kehakiman
Tahun 2004 menjadi momen krusial saat UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disahkan. Melalui undang-undang ini, seluruh lembaga peradilan di Indonesia—termasuk peradilan agama—disatukan di bawah satu atap Mahkamah Agung RI.
Langkah ini tidak hanya mengakhiri dualisme sistem, tetapi juga memperkuat integritas, transparansi, dan independensi lembaga peradilan agama.
Peran Kontemporer Peradilan Agama
Kini, peradilan agama tak hanya menangani perkara keluarga dan waris, tetapi juga turut berperan dalam pengembangan ekonomi syariah melalui penerapan prinsip fikih muamalah. Hal ini menjadi bukti bahwa hukum Islam mampu menjawab tantangan zaman, termasuk dalam konteks transaksi modern dan keuangan Islam.
Sumber dan Referensi:
- Staatsblad 1882 No. 152 & 153
- Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24
- UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Situs Resmi: www.badilag.mahkamahagung.go.id
- Buku: "Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia" oleh Prof. Dr. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M.Hum.
Penulis: M. Hendra Cordova Masputra & Rizka Arsita Amalia
Editor: Redaksi Mediabahri.com
Tanggal Publikasi: Senin, 04 Agustus 2025
📌 Berita hukum dan yudisial terpercaya hanya di Mediabahri.com