Humas MA, Jakarta — Jum’at, 8 Agustus 2025 | Mediabahri.com - Di era digital, informasi bergerak secepat kilat. Namun, di balik kemudahan akses tersebut, hoaks atau berita bohong menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Mulai dari kabar kesehatan palsu hingga fitnah terhadap tokoh publik, hoaks mampu memecah belah, menyesatkan, dan menimbulkan kerugian nyata baik bagi individu maupun kelompok.

Secara hukum, penyebaran hoaks dapat dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 28 ayat (1) dan (2). Pelaku dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti menimbulkan keresahan atau kerugian. Kendati demikian, membuktikan siapa penyebar pertama dan motif di baliknya kerap menjadi tantangan tersendiri.

Sebagai lembaga yudikatif tertinggi, Mahkamah Agung (MA) memegang peran krusial dalam memastikan penegakan hukum berjalan adil. Hakim yang menangani perkara hoaks dituntut mampu menilai secara objektif berdasarkan alat bukti yang sah. Dalam praktiknya, jejak digital seperti tangkapan layar, rekaman suara, dan riwayat unggahan menjadi bukti penting yang memerlukan uji keotentikan.

Meski demikian, penanganan hoaks bukan semata soal menjatuhkan hukuman. MA juga mendorong pendekatan edukatif, termasuk peningkatan kapasitas hakim di bidang literasi digital dan forensik elektronik. Tujuannya, agar hakim mampu merespons kompleksitas perkara dunia maya dengan profesionalisme tinggi.

Masyarakat pun memiliki peran yang tak kalah penting. Kebijaksanaan dalam menerima dan membagikan informasi menjadi benteng utama. Sebab, jari yang ringan menekan tombol “bagikan” tanpa verifikasi dapat berujung pada persoalan hukum yang serius.

Pada akhirnya, pemberantasan hoaks adalah tanggung jawab bersama. Peran MA dalam menegakkan hukum harus berjalan beriringan dengan kesadaran publik demi terciptanya ruang digital yang sehat, aman, dan bertanggung jawab.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Redaksi: Mediabahri.com