Jakarta, Minggu, 13 Juli 2025 — mediabahri.com | Praktik pembuktian perkara penyalahgunaan narkotika yang selama ini hanya mengandalkan kesaksian dari pihak penangkap, dinilai belum efektif dalam mencapai tujuan rehabilitatif sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Narkotika.
Fenomena tersebut menjadi sorotan dalam sidang di Pengadilan Negeri Pulau Punjung, di mana Majelis Hakim yang diketuai Dedy Agung Prasetyo, S.H., serta dua anggota majelis Tedy Rinaldy Santoso, S.H., dan Iqbal Lazuardi, S.H., menjatuhkan vonis terhadap dua terdakwa kasus narkotika.
Paradoks dalam Penanganan Kasus Penyalahgunaan Narkotika
Sistem peradilan pidana Indonesia menghadapi paradoks krusial: di satu sisi, Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mendorong pendekatan rehabilitatif bagi pengguna narkotika; namun di sisi lain, proses pembuktian masih cenderung menekankan pendekatan punitif, dengan saksi penangkap mendominasi jalannya persidangan.
Realita ini dinilai tidak sejalan dengan semangat hukum yang berkeadilan dan pemidanaan modern. Dalam banyak kasus, hakim hanya disodori informasi dari pihak penangkap yang sifatnya teknis dan situasional, tanpa memahami kondisi psikososial terdakwa secara utuh.
Perlu Pendekatan Restoratif dan Humanistik
Dalam kerangka teori pemidanaan kontemporer, sebagaimana dijelaskan oleh Guru Besar Hukum Pidana Eddy O.S. Hiariej, pendekatan modern tidak hanya menekankan hukuman sebagai balasan (retributif), tetapi juga mendorong aspek rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Hal senada juga ditegaskan oleh Edwin H. Sutherland melalui teori differential association, yang menyatakan bahwa perilaku kriminal terbentuk melalui interaksi dalam lingkungan sosial terdekat.
Karena itu, menghadirkan orang-orang terdekat terdakwa—seperti keluarga, sahabat, atau rekan kerja—di persidangan menjadi langkah penting. Mereka bisa menyampaikan informasi tentang latar belakang, pola perilaku, serta dukungan sosial yang relevan bagi rehabilitasi terdakwa.
Kelemahan Saksi Penangkap Sebagai Satu-satunya Alat Bukti
Ada beberapa kelemahan mendasar jika hanya mengandalkan saksi penangkap, antara lain:
- Minimnya informasi kontekstual: Saksi penangkap hanya mengetahui momen penangkapan dan barang bukti, bukan latar belakang terdakwa.
- Dominasi narasi punitif: Sering kali keterangan mereka menciptakan stigma terhadap terdakwa, bukan membuka peluang rehabilitasi.
- Terhambatnya individualisasi pemidanaan: Hakim kehilangan informasi penting tentang kondisi pribadi terdakwa yang krusial dalam menentukan sanksi yang tepat.
Potensi dan Manfaat Kesaksian Orang Terdekat
Kesaksian dari pihak terdekat terdakwa dapat membuka gambaran yang lebih luas tentang dinamika yang menyebabkan penyalahgunaan narkotika, termasuk adanya tekanan hidup, kondisi kejiwaan, atau relasi sosial tertentu. Kesaksian ini juga dapat memperlihatkan sejauh mana dukungan sosial tersedia jika terdakwa menjalani rehabilitasi.
Lebih jauh, langkah ini sejalan dengan semangat restorative justice, sebagaimana dikemukakan oleh John Braithwaite, yang menempatkan komunitas sebagai pihak penting dalam proses penyelesaian masalah hukum.
Landasan Hukum Hadirkan Saksi dari Kalangan Terdekat
Menurut KUHAP, tepatnya Pasal 168, memang terdapat batasan mengenai siapa saja yang boleh menjadi saksi, termasuk keluarga dekat. Namun Pasal 169 ayat (1) KUHAP membuka ruang, di mana saksi dari kalangan keluarga bisa memberikan keterangan di bawah sumpah, bila semua pihak setuju.
Ini menjadi celah positif yang bisa dimaksimalkan demi menegakkan keadilan substantif, bukan semata prosedural.
Tantangan dan Rekomendasi
Memang tidak mudah untuk menghadirkan saksi dari kalangan non-penegak hukum. Beberapa tantangan utama antara lain:
- Ketakutan saksi terdekat untuk bersaksi
- Keterbatasan waktu dan sumber daya aparat penegak hukum
- Potensi bias dalam kesaksian pihak keluarga
Namun, tantangan tersebut bisa diatasi dengan pendekatan sistemik—seperti edukasi hukum, penyusunan pedoman pelibatan saksi terdekat, hingga prosedur cross-examination untuk menjaga objektivitas.
Kesimpulan: Peradilan yang Lebih Manusiawi dan Rehabilitatif
Sudah saatnya sistem peradilan pidana Indonesia menggeser paradigma pembuktiannya. Tidak cukup hanya mengandalkan keterangan penangkap, tetapi perlu membuka ruang partisipasi bagi suara orang-orang terdekat terdakwa.
Hakim memegang peran penting sebagai motor perubahan. Dengan dasar hukum yang ada, mereka bisa meminta dihadirkannya informasi atau saksi baru, demi keadilan yang lebih utuh dan berorientasi pada pemulihan.
Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas putusan, tapi juga memperkuat fondasi sistem hukum Indonesia yang adil, manusiawi, dan progresif.
Penulis: Muamar Azmar Mahmud Farig
Editor: Tim Redaksi mediabahri.com